Film ini berkisah tentang Jenderal Hou Jie (Andi Lau), panglima angkatan perang yang angkuh dan kejam, yang baru saja menaklukkan wilayah Deng Feng bersama sang asisten, Cao Man (Nicholas Tse). Namun, Cao yang haus kekuasaan mengkhianati Hou dan membuatnya tak hanya nyaris terbunuh, namun juga kehilangan putri semata wayangnya, dan menjadi buronan. Hou berlindung di Kuil Shaolin dan memutuskan menjadi biksu, meski sempat ditolak murid-murid Shaolin karena reputasinya yang jelek. Namun nasib membuatnya terpaksa harus berhadapan lagi dengan Cao yang kemudian tahu dimana dia bersembunyi.
Beny berhasil mengangkat sisi-sisi dramatik dalam film ini, sehingga meski film ini sarat adu jotos dan tembakan senapan, keharuan masih dapat meresap ke hati penonton. Terutama ketika Andi Lau harus kehilangan anaknya, dan ketika jiwanya yang sudah bersih karena menjadi biksu, menolong Cao saat musuhnya itu nyaris tertimpa balok yang runtuh dari atap kuil. Kehebatan akting Andi Lau pun layak dipuji, karena dia berhasil dengan baik memerankan tokoh jenderal yang semula kejam, menjadi seorang biksu yang berhati mulia dan ikhlas menolong jiwa sesama. Ending dari adegan ini pun disisipi pesan spiritual yang dalam, karena Hou 'dimatikan' di tangan patung Buddha.
Yang juga layak diacungi jempol dari film ini adalah sajian sinematografi yang begitu dashyat. Benny dengan cermat menggarap setiap detail film mulai dari momen peperangan yang menampilkan pengaruh dan kekuatan besar sang Jenderal bersama pasukannya, hingga r Hou tewas di tangan patung Buddha. Sayangnya, nama besar Jackie Chan dalam film berbiaya US$ 29 juta ini terkesan hanya sekedar tempelan, seolah di film yang diproduksi Emperor Motion Pictures dani berdurasi 131 menit.ini Jackie hanya bintang tamu. Pasalnya, selain porsi peran Jackie teramat sedikit dan tidak menonjol, rol yang dimainkannya pun tidak mempengaruhi alur cerita. Meski Beny berhasil menampilkan adegan-adegan kungfu kocak ala Jackie Chan yang dapat membuat orang tertawa.
No comments:
Post a Comment